Kecintaannya pada musik membuat Andjar Rangga mengembangkan usaha yang terkait dengan hobi bermusik. Sejak Januari tahun lalu, setelah menamatkan pendidikan manajemen di Universitas Surabaya, anak pertama dari empat bersaudara ini menekuni usaha berlabel saxwood.
Produk yang dihasilkan amat unik, yakni saksofon yang terbuat dari kayu jati kuno. Saksofon buatannya bisa ditiup dan menghasilkan suara yang lebih lembut dari alat tiup serupa yang terbuat dari logam yang dipopulerkan pertama kali oleh Adolphe Sax pada 1841.
Andjar tidak mau membuat produk unik yang fungsinya hanya sebagai pajangan. Pemuda kelahiran 1985 ini memutar otak bagaimana alat musik tersebut dapat dimainkan juga.
"Saya datang dari keluarga yang mencintai musik, sewaktu kami berkumpul ada ide untuk membuat saxwood. Kenapa memilih saksofon karena kalau membuat gitar atau biola sudah biasa. Kami menginginkan yang unik, walaupun sulit membuatnya."
Usaha yang dikembangkannya dengan bantuan penuh keluarga ini mengandalkan bahan baku asli Indonesia. Andjar mengambil bahan baku kayu jati tua yang kadar airnya mendekati 0%.
Dia biasa mengumpulkan bahan baku dari bongkaran rumah kuno atau bahan sisa pembuatan furnitur antik yang memakai kayu jati tua. Pada awalnya produksi saxwood per bulan hanya satu.
Tingkat kesulitan yang tinggi membuat produksi saxofon kayu ini terbatas. Belakangan Andjar yang dibantu dua pekerja biasa membuat lima hingga belasan saxwood per bulan. "Untuk membuatnya saya banyak berbagi dengan teman-teman sesama pemusik. Kami membuatnya tidak sembarangan. Kami ingin berkontribusi kepada musik jazz Indonesia dan musik dunia pada umumnya."
Saksofon identik dengan musik rock n' roll, ska, hingga jazz. Andjar mulai memasarkan saxwood sejak Maret 2008 bertepatan dengan perhelatan ajang jazz tahunan internasional Java Jazz. Promosi pada ajang tersebut sejalan dengan tujuannya menyasar pasar domestik dan asing.
Bidikan penjualan produk lebih diperuncing ke arah pasar domestik. Hal tersebut dipicu oleh proyeksi bahwa jazz Tanah Air akan semakin berkembang pada masa depan. Dia pun memberanikan diri segera melemparkan produknya ke pasaran.
"Tes pasar di Java Jazz karena kami fokus memperbaiki kualitas produk secara bertahap, sekaligus memasyarakatkan jazz di Indonesia lewat saxwood."
Tidak sekadar bicara, pria yang kini melanjutkan kuliah di S2 jurusan manajemen Universitas Gadjah Mada ini mewujudkan dukungan terhadap pengembangan musik dalam negeri lewat langkah konkret.
Dia membanderol harga saxwood lebih murah untuk pembeli domestik. Saxwood alto dijual seharga Rp3,5 juta, sopran Rp4,5 juta, tenor Rp5,5 juta, dan bariton Rp7 juta-Rp8 juta.
Andjar memberi harga jual lebih tinggi untuk pembeli asing. Untuk membawa pulang saxwood alto pembeli asal mancanegara harus merogoh kocek US$549, sopran US$649, tenor US$700, dan bariton US$1.200.
Sejauh ini, pesanan saxwood datang dari beberapa musikus luar negeri yang sempat mengenal karyanya a.l. melalui Java Jazz. Beberapa di antaranya pemusik yang berasal dari Italia dan Jepang.
"Pasar asing merespons cukup baik karena saksofon pada awalnya memang terbuat dari kayu, kendala bahan baku membuatnya lantas diproduksi menggunakan logam. Sekarang teknologinya sudah ada dan bahan bakunya banyak di Indonesia makanya kami mulai membuat."
ia merasa tertantang untuk selalu mengembangkan produk ini selangkah lebih maju walaupun belum memiliki kompetitor. Memasarkan produk yang terbilang baru di Tanah Air memiliki nilai plus minus di mata Andjar.
Beruntung dia memiliki keluarga yang selalu mendukung langkahnya. Dia banyak mendapatkan masukan dan ilmu berharga seputar penjualan dari sang ayah yang kebetulan seorang marketer yang bekerja di salah satu produsen rokok terbesar di Indonesia.
"Mengembangkan bisnis yang terkait erat dengan keluarga ada enak dan tidaknya. Enaknya kalau ada masalah ya dicari jalan keluarnya bersama. Tidak enaknya, kreativitas kadangkala malah nggak keluar, berbeda kalau bekerja dengan orang lain." (*/Bisnis Indonesia)
Produk yang dihasilkan amat unik, yakni saksofon yang terbuat dari kayu jati kuno. Saksofon buatannya bisa ditiup dan menghasilkan suara yang lebih lembut dari alat tiup serupa yang terbuat dari logam yang dipopulerkan pertama kali oleh Adolphe Sax pada 1841.
Andjar tidak mau membuat produk unik yang fungsinya hanya sebagai pajangan. Pemuda kelahiran 1985 ini memutar otak bagaimana alat musik tersebut dapat dimainkan juga.
"Saya datang dari keluarga yang mencintai musik, sewaktu kami berkumpul ada ide untuk membuat saxwood. Kenapa memilih saksofon karena kalau membuat gitar atau biola sudah biasa. Kami menginginkan yang unik, walaupun sulit membuatnya."
Usaha yang dikembangkannya dengan bantuan penuh keluarga ini mengandalkan bahan baku asli Indonesia. Andjar mengambil bahan baku kayu jati tua yang kadar airnya mendekati 0%.
Dia biasa mengumpulkan bahan baku dari bongkaran rumah kuno atau bahan sisa pembuatan furnitur antik yang memakai kayu jati tua. Pada awalnya produksi saxwood per bulan hanya satu.
Tingkat kesulitan yang tinggi membuat produksi saxofon kayu ini terbatas. Belakangan Andjar yang dibantu dua pekerja biasa membuat lima hingga belasan saxwood per bulan. "Untuk membuatnya saya banyak berbagi dengan teman-teman sesama pemusik. Kami membuatnya tidak sembarangan. Kami ingin berkontribusi kepada musik jazz Indonesia dan musik dunia pada umumnya."
Saksofon identik dengan musik rock n' roll, ska, hingga jazz. Andjar mulai memasarkan saxwood sejak Maret 2008 bertepatan dengan perhelatan ajang jazz tahunan internasional Java Jazz. Promosi pada ajang tersebut sejalan dengan tujuannya menyasar pasar domestik dan asing.
Bidikan penjualan produk lebih diperuncing ke arah pasar domestik. Hal tersebut dipicu oleh proyeksi bahwa jazz Tanah Air akan semakin berkembang pada masa depan. Dia pun memberanikan diri segera melemparkan produknya ke pasaran.
"Tes pasar di Java Jazz karena kami fokus memperbaiki kualitas produk secara bertahap, sekaligus memasyarakatkan jazz di Indonesia lewat saxwood."
Tidak sekadar bicara, pria yang kini melanjutkan kuliah di S2 jurusan manajemen Universitas Gadjah Mada ini mewujudkan dukungan terhadap pengembangan musik dalam negeri lewat langkah konkret.
Dia membanderol harga saxwood lebih murah untuk pembeli domestik. Saxwood alto dijual seharga Rp3,5 juta, sopran Rp4,5 juta, tenor Rp5,5 juta, dan bariton Rp7 juta-Rp8 juta.
Andjar memberi harga jual lebih tinggi untuk pembeli asing. Untuk membawa pulang saxwood alto pembeli asal mancanegara harus merogoh kocek US$549, sopran US$649, tenor US$700, dan bariton US$1.200.
Sejauh ini, pesanan saxwood datang dari beberapa musikus luar negeri yang sempat mengenal karyanya a.l. melalui Java Jazz. Beberapa di antaranya pemusik yang berasal dari Italia dan Jepang.
"Pasar asing merespons cukup baik karena saksofon pada awalnya memang terbuat dari kayu, kendala bahan baku membuatnya lantas diproduksi menggunakan logam. Sekarang teknologinya sudah ada dan bahan bakunya banyak di Indonesia makanya kami mulai membuat."
ia merasa tertantang untuk selalu mengembangkan produk ini selangkah lebih maju walaupun belum memiliki kompetitor. Memasarkan produk yang terbilang baru di Tanah Air memiliki nilai plus minus di mata Andjar.
Beruntung dia memiliki keluarga yang selalu mendukung langkahnya. Dia banyak mendapatkan masukan dan ilmu berharga seputar penjualan dari sang ayah yang kebetulan seorang marketer yang bekerja di salah satu produsen rokok terbesar di Indonesia.
"Mengembangkan bisnis yang terkait erat dengan keluarga ada enak dan tidaknya. Enaknya kalau ada masalah ya dicari jalan keluarnya bersama. Tidak enaknya, kreativitas kadangkala malah nggak keluar, berbeda kalau bekerja dengan orang lain." (*/Bisnis Indonesia)
Sumber : ciputraentreprenuerchip.com