Ide kreatif bisa datang tiba-tiba dan tak terduga. Yusnita contohnya. Ibu tiga anak ini memang kreatif membuat kerajinan tangan. Di tangannya, shuttle cock bekas diubah menjadi mainan atau hiasan khas Betawi: ondel-ondel. Dari ide kreatif itu bertambah gendutlah kocek Yusnita.
Menurut dia, pembuatan mainan ondel-ondel terpikirkan ketika ikut lomba kerajinan tangan yang diselenggarakan pemerintah Jakarta Utara. Panitia lomba hanya mensyaratkan kerajinan tangan dibuat dengan model yang sudah umum di masyarakat. "Saya cari apa, ya, murah meriah dan unik khas Jakarta?" ujar penyelenggara kursus kerajinan dan rias pengantin ini. Pilihannya jatuh pada ondel-ondel sebagai mainan atau hiasan buatan tangannya.
Perempuan asal Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, ini kemudian mencoba membuat ikon khas Jakarta itu dari botol. Hasilnya, "Sangat sulit dan gagal." Tak sukses dengan botol, Yusnita melirik shuttle cock bekas milik adiknya yang doyan main badminton. Simsalabim, imajinasinya langsung muncul. "Saya gambari shuttlecock itu jadi kepala dan wajah. Sedangkan bulunya itu sebagai badannya," ujarnya sembari terkekeh-kekeh.
Ondel-ondel dari limbah permainan bulu tangkis itu kemudian diberi tambahan mote-mote, jarum pentul, payet, dan kain flanel yang mencolok. Untuk ondel-ondel perempuan, diberikan sentuhan teratai di pembatas kepala dan jarum pentul dengan mote-mote. Sedangkan model laki-laki diberi sabuk pada pinggangnya. "Warnanya saya buat ngejreng dan "tabrakan". Ada hijau dengan merah, atau merah dengan biru, khas Betawi," katanya.
Hasilnya, ondel-ondel buatan Yusnita terpilih sebagai pemenang dalam lomba tersebut. Pemerintah Jakarta menobatkan kerajinan tangannya sebagai juara kreativitas. Sejak itu, kreativitas tangannya makin menjanjikan. Dia mulai rajin ikut pameran dari satu kota ke kota lain. Di setiap pameran, ondel-ondel buatan Yusnita ludes diborong pembeli. "Bahkan sempat diborong turis sebagai suvenir," katanya bangga.
Bahkan, pada saat Indonesia menggelar kejuaraan Piala Thomas dan Uber, Juni lalu, Yusnita tak ingin kehilangan kesempatan. Ondel-ondel buatannya dibuat dengan menampilkan bulu-bulu shuttlecock. "Saya namai Bang Thomas dan Nona Uber. Tapi begitu kalah, ya, aku namai Abang-None Jakarta," ujarnya.
Meski baru memulai usahanya pada tahun lalu, kerajinan tangannya kini bisa dijumpai di beberapa outlet, seperti Monumen Nasional, Cilandak Town Square, Pondok Indah, Tanah Abang, Dufan, dan Pasar Seni. Setiap bulan Yusnita menjual sekitar 100 ondel-ondel. Pemasukan terbesar didapatkan ketika mengikuti Pekan Raya Jakarta, dua bulan lalu. "Saya tidak menyangka bisa dapat Rp 16 juta," katanya.
Karena usahanya membesar, Yusnita kini dibantu 8-15 orang peserta kursus yang merangkap sebagai asistennya. Namun, jika order sedang melimpah, dia mengikutsertakan ibu rumah tangga di sekitar rumahnya untuk membuat ondel-ondel. Setiap hari sekitar 20-50 buah ondel-ondel bisa dihasilkan dari rumahnya.
Menurut perempuan peraih penghargaan Anugerah Bakti dari pemerintah ini, sebuah ondel-ondel dijual dengan harga sekitar Rp 30 ribu sepasang. Namun, jika pembeli ingin satu jenis saja, misalnya hanya ondel-ondel lelaki atau yang perempuan, Yusnita pun tak keberatan. Jika ditambah dengan hiasan Monumen Nasional, harganya mencapai Rp 100 ribu. Hasil penjualan itu, kata Yustina, dialokasikan 10 persen bagi anak didik yang membuatnya, 10-20 persen promosi, dan 10 persen untuk pedagang. (*/Tempo)
Menurut dia, pembuatan mainan ondel-ondel terpikirkan ketika ikut lomba kerajinan tangan yang diselenggarakan pemerintah Jakarta Utara. Panitia lomba hanya mensyaratkan kerajinan tangan dibuat dengan model yang sudah umum di masyarakat. "Saya cari apa, ya, murah meriah dan unik khas Jakarta?" ujar penyelenggara kursus kerajinan dan rias pengantin ini. Pilihannya jatuh pada ondel-ondel sebagai mainan atau hiasan buatan tangannya.
Perempuan asal Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, ini kemudian mencoba membuat ikon khas Jakarta itu dari botol. Hasilnya, "Sangat sulit dan gagal." Tak sukses dengan botol, Yusnita melirik shuttle cock bekas milik adiknya yang doyan main badminton. Simsalabim, imajinasinya langsung muncul. "Saya gambari shuttlecock itu jadi kepala dan wajah. Sedangkan bulunya itu sebagai badannya," ujarnya sembari terkekeh-kekeh.
Ondel-ondel dari limbah permainan bulu tangkis itu kemudian diberi tambahan mote-mote, jarum pentul, payet, dan kain flanel yang mencolok. Untuk ondel-ondel perempuan, diberikan sentuhan teratai di pembatas kepala dan jarum pentul dengan mote-mote. Sedangkan model laki-laki diberi sabuk pada pinggangnya. "Warnanya saya buat ngejreng dan "tabrakan". Ada hijau dengan merah, atau merah dengan biru, khas Betawi," katanya.
Hasilnya, ondel-ondel buatan Yusnita terpilih sebagai pemenang dalam lomba tersebut. Pemerintah Jakarta menobatkan kerajinan tangannya sebagai juara kreativitas. Sejak itu, kreativitas tangannya makin menjanjikan. Dia mulai rajin ikut pameran dari satu kota ke kota lain. Di setiap pameran, ondel-ondel buatan Yusnita ludes diborong pembeli. "Bahkan sempat diborong turis sebagai suvenir," katanya bangga.
Bahkan, pada saat Indonesia menggelar kejuaraan Piala Thomas dan Uber, Juni lalu, Yusnita tak ingin kehilangan kesempatan. Ondel-ondel buatannya dibuat dengan menampilkan bulu-bulu shuttlecock. "Saya namai Bang Thomas dan Nona Uber. Tapi begitu kalah, ya, aku namai Abang-None Jakarta," ujarnya.
Meski baru memulai usahanya pada tahun lalu, kerajinan tangannya kini bisa dijumpai di beberapa outlet, seperti Monumen Nasional, Cilandak Town Square, Pondok Indah, Tanah Abang, Dufan, dan Pasar Seni. Setiap bulan Yusnita menjual sekitar 100 ondel-ondel. Pemasukan terbesar didapatkan ketika mengikuti Pekan Raya Jakarta, dua bulan lalu. "Saya tidak menyangka bisa dapat Rp 16 juta," katanya.
Karena usahanya membesar, Yusnita kini dibantu 8-15 orang peserta kursus yang merangkap sebagai asistennya. Namun, jika order sedang melimpah, dia mengikutsertakan ibu rumah tangga di sekitar rumahnya untuk membuat ondel-ondel. Setiap hari sekitar 20-50 buah ondel-ondel bisa dihasilkan dari rumahnya.
Menurut perempuan peraih penghargaan Anugerah Bakti dari pemerintah ini, sebuah ondel-ondel dijual dengan harga sekitar Rp 30 ribu sepasang. Namun, jika pembeli ingin satu jenis saja, misalnya hanya ondel-ondel lelaki atau yang perempuan, Yusnita pun tak keberatan. Jika ditambah dengan hiasan Monumen Nasional, harganya mencapai Rp 100 ribu. Hasil penjualan itu, kata Yustina, dialokasikan 10 persen bagi anak didik yang membuatnya, 10-20 persen promosi, dan 10 persen untuk pedagang. (*/Tempo)
Sumber : ciputraentreprenuerchip.com